Tuesday, January 15, 2008

Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar: Semoga Bukan Hal yang Sulit dan Mahal

Saya kerap berdebat dengan kawan, apakah itu kuitansi atau kwitansi, jadual atau jadwal, mengubah atau merubah, serta memermudah atau mempermudah. Kebanyakan perdebatan tersebut baru terpecahkan beberapa hari ke depan, karena masing-masing dari kami tidak dapat menunjukkan bukti manakah yang benar. Hingga suatu saat saya menemukan sebuah Kamus Besar Bahasa Indonesia di rumah pacar saya, yang kemudian mengukuhkan kebenaran sekaligus kesalahan saya pada saat yang bersamaan atas perdebatan kemarin hari. Saya bersikeras pada kebenaran kata kuitansi dan KBBI juga menuliskan kuitansi. Saya benar. Namun saya memihak pada kata jadual dan sayangnya KBBI memuat entri jadwal. Saya salah.

Berbicara dan berdebat tentang bahasa Indonesia beserta kebakuan kata-katanya memang susah susah gampang. Kendala yang paling utama adalah ketiadaan sumber acuan yang dapat menuntaskan secara langsung keraguan terhadap objek kata/ kalimat yang sedang dibahas. Dalam konteks ini saya merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Ingatlah ketika kita masih berada di bangku (Kenapa disebut bangku adalah karena bentuknya yang panjang. Tempat duduk yang hanya memuat satu orang dinamakan kursi. Namun, pada saat SMP kami sekelas menggunakan 'kursi' dan kami tetap menamakannya 'bangku') sekolah pada saat pelajaran Bahasa Indonesia. Pada beberapa mata pembahasan terselip kata-kata "menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia..." yang artinya kita dianjurkan untuk merujuk pada kamus tersebut apabila menemukan kerancuan dalam aktivitas berbahasa kita.

Namun, anjuran tetaplah anjuran. Entah mungkin saya yang malas, saya jarang bahkan hampir tidak pernah bersentuhan dengan benda itu. Sepanjang pengalaman, baru sekali saya benar-benar membuka dan membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut. Yaitu saat saya menemukannya tertumpuk-tumpuk tak terjamah di bufet ruang tamu auLia. Dahulu Bapak memang punya kamus, tetapi bukan Kamus Besar melainkan Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka. Kamus bersampul hijau muda itu cukup tebal sehingga adik saya kerap menggunakannya sebagai pengganti barbel untuk berlatih beban.

Penemuan KBBI tersebut menumbuhkan pertanyaan dalam benak saya tentang akses masyarakat terhadap Kamus Besar Bahasa Indonesia. Seperti halnya Undang Undang Dasar yang menjadi dasar segala peraturan dalam penyelenggaraan negara yang mulia dan sejahtera, Kamus Besar merupakan acuan utama untuk mewujudkan kehidupan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Dari segi harga, saya memang tidak pernah melakukan survey terhadap toko-toko buku, namun saya merasa tidak akan mendapatkannya dalam kisaran harga puluhan ribu. Itu dari soal harga. Pertanyaan selanjutnya adalah berapa banyak toko buku yang akan menjawab "ada" ketika ditanya mengenai keberadaan dan ketersediaan kamus tersebut untuk dibeli oleh konsumen. Saya pun belum pernah melakukannya, mungkin anda?

Secara kepraktisan, memang Kamus Besar Bahasa Indonesia bukan tergolong yang mudah untuk dibawa kemana-mana. Apalagi untuk dimasukkan ke dalam tas tangan sambil ditenteng berkeliling ke pusat perbelanjaan. Sangat tidak praktis. Saya berkhayal tentang kamus elektronik serupa alfalink yang pernah sukses dengan "kamus Inggris – Indonesia"-nya yang mudah dibawa ke mana-mana. Ukurannya yang cukup kompak setidaknya cukup bersaing dengan compact powder milik kaum hawa untuk dibawa bersama dalam satu tas tangan. Sangat memungkinkan untuk memampatkan ketebalan Kamus Besar Bahasa Indonesia ke dalam ukuran kepalan tangan, apalagi dalam masa cyber saat ini.

Namun, nampaknya pihak produsen belum ada yang menaruh perhatian dan investasi terhadap kesempatan ini. Mungkin pasarnya memang belum ada dan memungkinkan. Sedangkan pemerintah pun masih sibuk berkutat dengan penyelenggaraan negara yang bersifat substansial seperti impor pangan dan bahan bakar, pendidikan, kedaulatan wilayah, dan juga penanganan bencana alam yang beberapa tahun terakhir melanda negara ini. Urusan kamus boleh jadi nomor urut limapuluh dua dalam skala prioritas.

Akses terhadap keberadaan Kamus Besar Bahasa Indonesia bisa saja sulit, namun bukan berarti kita tidak punya pegangan atau acuan sama sekali dalam berbahasa. Media massa dalam arti pers adalah salah satu sumber yang diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat dalam berbahasa. Merujuk kepada kemampuannya menjangkau berbagai lapisan masyarakat, suratkabar, majalah, televisi, radio adalah media yang sangat efektif dalam membentuk dan memengaruhi cara masyarakat berbahasa.

Ibarat pisau bermata dua, media pun memiliki pengaruh yang positif dan negatif. Sebagai acuan dan contoh, ia bisa mengajarkan yang benar sekaligus yang salah. Apakah anda ingat tentang kata bergeming? Pada waktu-waktu lalu, saya ingat dan selalu mengorelasikan kata tersebut dengan arti "bergerak". Bergeming berarti bergerak, tak bergeming berarti tak bergerak. Semenjak saya menemukan KBBI, saya menyadari telah sekian lama menjadi korban salah kaprah. Siapa yang mengajarkan? Media. Saya terbiasa membaca cerpen-cerpen dalam majalah Bobo pada waktu kecil, dan hampir selalu menemukan kata "tak bergeming" untuk menunjukkan seseorang dalam keadaan diam. Sampai saat ini pun terkadang saya tetap menemukan penggunaan yang salah untuk kata “bergeming” dalam beberapa penerbitan. Sungguh sayang.

screenshot koran lokal dan koran nasional
Sebab media massa adalah panutan: baik maupun buruk


Beberapa hari yang lalu, saya pun menemukan kasus yang berhubungan dengan kerancuan bahasa. Dari screenshot yang saya lampirkan di bawah, jelas penggunaan kata launching yang diberikan imbuhan di- bukanlah sebuah bentukan yang baku dari bahasa Indonesia. Launching merupakan kata benda gerund yang merupakan bentukan dari kata dasar launch. Dalam bahasa Indonesia pun saya kira sudah ada padanannya, yaitu meluncurkan dan meresmikan. Sehingga penggunaan kata "dilaunching" merupakan pemaksaan dan kesalahan serius dalam tataran berbahasa Indonesia.

Dua buah contoh tersebut saya temukan pada dua buah suratkabar yang berbeda dari skala penerbitannya. Dan ternyata suratkabar nasional pun tak menjamin lebih akurat, tepat, dan baku dalam berbahasa ketimbang suratkabar lokal.

PS: Dalam dunia internet, beberapa istilah sudah di-Indonesiakan seperti "unduh" untuk download, "perambah" untuk browser, serta "unggah" untuk upload. Saya belum tahu apakah kata-kata padanan tersebut sudah dibakukan atau belum, yang jelas pengalihbahasaan istilah-istilah tersebut memerkaya khasanah bahasa Indonesia. Saya lalu berandai-andai tentang keberadaan kamus bahasa Indonesia online yang mampu diakses oleh dengan cepat dan mudah oleh pengguna internet, seperti yang diperbincangkan oleh rekan Jay. Maka berbahasa Indonesia yang baik dan benar bukan lagi sesuatu yang sulit lagi mahal.


4 komentar:

Anonymous said...

saya sendiri masih sering salah dalam menggunakan bahasa indonesia, sebagai staff pengajar tehnik saya sering menggunakan istilah yang bukan bahasa indonesia. tapi menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar merupakan hal sepatutnya dilakukan WNI.

Anonymous said...

hi sobat...
Bahasa yang baik adalah bahasa yang mudah dimengerti...
Kalau "tulisan" kita bahas aja setelah kita mengerti bahasa indonesia itu sendiri...bingung to....
aku sendiri bingung....
PR-Moe dah berapa boeng....!

Anonymous said...

wah makin ngerti ilmu orang makin bodoh diri saya.
thank atas infonya

hehehe coment saya Baik dan Benar nggak ya?

alfalink said...

Setuju sekali, media kadang masih ngawurdalamberbahasa, jadi jangan salhakankita kalau orang indonesia nilai bahasa indoneisanya banyak yang jeblok

Design by Dzelque Blogger Templates 2007-2008