Friday, November 16, 2007

Sudahkah Anda Menonton Get Married?

"Anak kalian nggak bisa kawin soalnya ada 3 jin laki-laki yang ngganduli"
Potongan dialog ini menyambut kami berdua saat menjejakkan kaki sambil meraba-raba nomor tempat duduk seperti yang tertera pada tiket. Kami terlambat sekitar sepuluh menit sehingga film sudah sampai pada bagian yang membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal.
Namun kemudian tidak begitu sulit bagi kami untuk mengikuti jalannya cerita karena sebelumnya sudah dibekali resensi dari televisi yang mengulas tentang salah satu film nasional yang baru saja dirilis: Get Married!

Cerita bermula dari seorang gadis bernama Mae [nama asli Maemun diperankan oleh Nirina Zubair] yang sudah ngebet kawin, tapi belum juga dapat laki-laki yang sesuai. Lebih-lebih lagi kedua orangtuanya [Jaja Miharja dan Meriam Bellina], denga getol mengusahakan jodoh buat Mae mulai dari tukang ojek hingga binaragawan super kekar. Namun semuanya tidak ada yang sesuai dengan kriteria dan keinginan Mae.

Mae bersahabat dengan tiga orang lelaki [Desta Club80's, Ringgo Agus Rahman, dan Aming Sugandhi] semenjak kecil, yang mana selalu membantu Mae 'menyingkirkan' setiap laki-laki yang tidak disukainya sebagai calon suami. Caranya, Mae akan berlari ke lantai dua dan mengibarkan kain merah manakala ia tidak suka dengan laki-laki yang sedang ngapel ke rumahnya. Sebaliknya, ia akan mengibarkan kain warna hijau jika ia telah merasa menemukan pria yang tepat sebagi calon suami.

Cerita berkembang manakala seorang pria tampan dan superkaya [wah.. lupa namanya!] datang ke rumah Mae. Kabar baiknya mereka berdua, Mae dan sang pria tampan, ternyata sama-sama suka. Maka, Mae pun berlari ke lantai dua dan mengibarkan kain hijau ke arah Aming yang sedari tadi sudah berjongkok menunggu di bawah. Malang ternyata Aming adalah penderita buta warna. Alhasil, warna kain hijau yang dikibarkan oleh Mae dilihat dan dipersepsi Aming sebagai warna merah!

Babak belurlah sang pria tampan tersebut; dicegat dan digebuk beramai-ramai oleh ketiga sahabat pria. Mae tidak terima atas insiden yang telah terjadi tersebut. Terlebih ketika ibunya jatuh sakit parah, Mae menuntut agar salah seorang dari mereka agar menikahinya. Demi ibunya yang setiap hari merengek dan menggumam bahwa dalam waktu dekat ia akan mati dan menjadi roh penasaran jikalau Mae tidak kunjung menikah.

Klimaks film memasuki timing-nya saat kawan-kawan sang pria tampan tidak terima atas pemukulan yang dilakukan oleh Desta cs. Maka, perkelahian massal antarkampung pun pecah! Namun masih diselingi dengan berbagai adegan kocakdisela-sela adegan pertempuran.

Secara absurd film ini diakhiri dengan pertemuan tak sengaja Mae dengan si pria tampan di tengah-tengah perkelahian massal. Kemudian dijelaskan bahwa semuanya adalah salah paham. Lebih bertambah absurd lagi ketika Mae dan si pria tampan langsung menikah di tempat, yang pada scene sebelumnya ia sudah siap mengucap ijab kabul dengan Agus Ringgo.

Secara garis besar dan keseluruhan, Get Married! tergolong ringan untuk dinikmati. Mendengar nama-nama Desta, Jaja Miharja, Agus Ringgo, Aming tampaknya sudah dapat mendeskripsikan bagaimana film ini akan bertutur kepada para penontonnya. Isu sosial yang dengan gamblang diangkat dalam film ini memaparkan tentang budaya solidaritas yang mengakar pada masyarakat Indonesia. Waktu si bodyguard berkata lantang kepada teman-temannya, maka tampaklah bahwa sosok-sosok yang berada di situ serupa dengan manusia-manusia jaman batu.

"Gue nggak peduli apa masalah elu sama mereka. Tapi yang jelas, nusuh elu adalah musuh kita juga. Jadi mari kita selesaikan dengan cara Indonesia"
Cara yang Indonesia? Hehee.. :-)


Tips & Saran:
Sebaiknya tidak membawa anak kecil saat menonton film ini, sebab mengandung banyak sekali explicit content seperti kata-kata Anjing! Bangsat! Mampus! Monyet!
Mencegah agar mulut anak kita tidak cepat menjaadi kebun binatang.
Baca selengkapnya..

Tuesday, November 13, 2007

The Rain and The Fall of Advertisement

Jogja kota hujan. Predikat yang aslinya milik kota Bogor ini, bolehlah dipinjam sejenak oleh kota Jogja, mengingat kondisi cuaca yang senantiasa kurang bersahabat bagi para pejalan kaki dan pengendara sepedamotor seperti saya ini. Semenjak dua minggu terakhir ini, mantel hujan kembali menjadi barang yang populer dan paling diminati. Serupa bendera merah putih yang laku keras tatkala Agustus tiba.

Saya ingat bahwa pertama kali hujan memasuki musimnya di Jogja tahun ini pada tanggal 5 November 2007 ini. Hujan pertama kali turun pada pukul 13.47, sebab pada saat itulah kantor saya [Kamajaya] sedang melakukan proses pindahan dari Jl. Monjali ke Condongcatur. Padahal
hari-hari sebelumnya langit terang benderang tanpa setitik air yang jatuh dari langit. Memang, ketika hari memasuki sore, langit terlihat mendung dengan segerombolan besar cumulonimbus yang menggantung. Tapi, mereka tidak melakukan apa-apa. Maka kami merasa aman saja untuk menjadwalkan ulang waktu pindahan kantor dari hari Jumat ke hari Senin.
Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Awan-awan itu mulai melancarkan serangannya pada hari Senin. Sehingga kami harus berpindah dalam basah.
Beberapa barang dan file terpaksa harus berkenalan dengan air.
Syukurlah mereka tidak termasuk hal yang penting.

Secara pribadi, saya terkena 2 dampak negatif dari musim hujan yang tengah berlangsung saat ini. Pertama, cucian yang saya jemur tidak dapat kering dengan segera. Untunglah saya menggunakan Attack; deterjen konsentrat yang mengandung softener sehingga pakaian tidak bau walaupun kering tanpa matahari [adv].

Kedua, rupanya atap genteng kamar kos saya menunjukkan ketidakberesannya kali ini. Setiap kali hujan dengan intensitas yang cukup deras, maka saya selalu was-was, cemas, serta gundah gulana. Jangan-jangan air masuk merembes ke dinding dan membasahi kasur saya.. Wah, ternyata benar! Alhasil, malam pertama pada musim hujan saya lalui tanpa kasur. Hiks...

Esok pagi saya berinisiatif untuk memerbaiki problem tersebut dengan memanjat sendiri ke atas atap melalui jalur area jemuran. Namun entah karena kebodohan atau nasib buruk, tubuh saya meremukkan beberapa genteng lagi karena usia genteng yang mungkin sudah dipasang semenjak saya duduk di bangku kelas 2 SMP. Weladalaah.. Maksud hati ingin memerbaiki malah menghancuri.. Teruknya..

Akhirnya saya 'memindahkan' beberapa genteng dari gapura kos ke atap kamar kos. Namun, hingga hari ini tampaknya masalah tersebut belum terselesaikan. Saya masih saja menjumpai bekas tetesan air yang mengalir pada dinding tatkala hujan deras menerjang. Maka saya mengalah. Setiap kali berangkat kerja, saya selalu mengingatkan diri untuk mendirikan kasur pada tempat yang lebih aman. Sehingga ia tidak berpotensi lagi untuk dijamah oleh air hujan.

Imbas lain yang kurang menyenangkan tentang musim hujan berkenaan dengan aliran listrik. Yup, listrik lebih berpotensi padam pada saat musim hujan. Dalam minggu ini sudah dua kali listrik kos padam, sehingga saya tidak bisa mengerjakan rutinitas seperti biasanya. Seperti mengoneksikan Motorola saya dengan komputer, lalu dengan bebas mengoprek-oprek dunia maya lewat koneksi XL GPRS. Padahal kuota download account saya masih tersisa 140MB. Lumayan besar untuk lima hari ke depan hingga masuk masa tagihan yang baru.

Malam tadi, listrik kembali padam. Terserang bad mood sebab dikepung gelap di dalam kos, saya berinisiatif makan malam di luar. Walaupun tanpa pacar. Saya menyusuri jalan Kaliurang ke selatan hingga Klebengan. Semua pekat. Sore tadi, angin dan hujan merobohkan sebuah papan iklan di depan Yamaha Kaliurang [klo gak salah], sehingga bapak-bapak polisi harus sedikit memodifikasi aliran lalulintas. Kendaraan dari ring road utara Kentungan tidak boleh menuju ke selatan. Jalan ditutup. Begitupula dari selatan di perempatan MM UGM, tidak boleh langsung menuju utara, melainkan dibelokkan ke arah Klebengan hingga tembus ke Gejayan [Jl. Affandi].

Air [hujan] dan angin adalah unsur dasar dari kehidupan planet bumi. Tetapi akhir-akhir ini keduanya tidak berlaku bersahabat sebagaimana biasanya mereka menumbuhkan tanaman, mengairi persawahan, serta menyeka panas dan keringat. Sayangnya pula, avatar sang pengendali angin hanya ada dalam kisah kartun televisi, sehingga mereka makin bebas saja mengobrak-abrik rumah, pohon, dan papan iklan. Tetapi, air dan angin tak dapat dipersalahkan, sebab manusia yang membuat global warming. Men must pay for what they've done.

By the way
, kenapa papan iklan yang selalu dijadikan sasaran oleh angin dan hujan?
Mungkin mereka juga muak melihat centang-perenangnya iklan yang bertebaran tanpa ampun di setiap sudut kota. Yang memaksa mata kita untuk menelan setiap pesan. Rela maupun tidak rela. Seperti juga iklan online yang membawa kita ke situs MFA.

PS: Ngomong soal MFA, ngomongin juga soal adsense.
Ngomongin soal adsense, ngomongin juga soal earning
Earning baru $0.53. Hiks...
Tapi, alhamdulillah... udah $0.53.. [optimist mode: on]
Maju publisher Indonesia!
Baca selengkapnya..

Design by Dzelque Blogger Templates 2007-2008