The Banner Troublemaker
Ini adalah cerita tentang sebuah benda yang sangat lazim ditemui di sepanjang jalan pada kota-kota di mana manusia biasa menunggang ‘kuda dengan kentut karbon monoksida’. Dia hadir di setiap perempatan jaln, di atas pos polisi, di bawah flyover, di depan warung lesehan gudeg, lalu berjejer centang perenang melintang jalan hingga kita tidak mampu melihat apakah lampu lalulintas sudah berubah hijau atau belum.
Makhluk bernama spanduk ini memang serupa tumbuhan merambat yang dalam semalam mampu beranakpinak dan serta merta menambatkan sulur-sulurnya pada setiap cagak di dalam hutan yang bernama kota. Dia mudah hidup namun tak mudah mati. Padahal menurut undang-undang, ia hanya boleh hidup selama empatbelas hari. Namun, begitu gigihnya ia beradaptasi dengan lingkungan sekitar, sehingga populasinya begitu cepat bertumbuh, ratusan hingga ribuan, sampai-sampai petugas dinas pendapatan daerah tak mampu lagi menghitung berapa banyak spanduk yang harus diberangus. Mati satu tumbuh sepuluhribu.
Lihatlah betapa makhluk ini memiliki sifat yang begitu unik: eksebsionis, suka pamer. Spanduk takkan mau hidup di mana tidak ada orang yang bisa melihatnya. Dan ada-ada saja caranya menarik perhatian. Mulai dari warna-warninya yang mencolok, hingga rangkaian kata-kata yang vulgar, erotis, mengajak, menggelitik, bertanya, dan bahkan memerintah. Simak saja contoh-contoh berikut:
Modernisasi dan kapitalisme adalah induk dan cikal bakal spanduk. Maka kota adalah tempat yang paling ideal untuk beranakpinak. Tetapi, kini ia mulai bertumbuh juga di desa. Sebab ia juga memiliki sifat yang serupa dengan induknya. Kapitalisme mengajarkan bahwa seseorang membeli bukan karena mereka ‘benar-benar’ membutuhkannnya, namun hanya karena ia ‘merasa’ membutuhkannya.
Ketika orang-orang menyaksikan bagaimana Deddy Mizwar dan Didi Petet meributkan ‘bebek’, maka merekapun membayangkan betapa mudahnya memindahkan diri hanya dengan memutar kunci, menginjak persneling, dan menarik kopel gas. Persuasi berlanjut ketika mereka melihat tetangganya mengendarai ‘bebek’ baru milik Deddy Mizwar. Akhirnya pandangan mereka tertumbuk pada sebuah spanduk yang terpancang di depan balai desa, yang mengatakan betapa mudahnya memiliki sebuah ‘bebek’ baru hanya dengan limaratus ribu. Maka berduyun-duyunlah orang desa menyerbu dealer, menukarkan enam bulan keringat mereka di ladang persawahan dengan sebuah ‘bebek’ baru yang minumnya seharga dengan sebungkus nasi padang duta minang.
Tetapi, spanduk terkadang berhati dermawan. Ketika gempa mengguncang, ia tidak lagi berdiri memamerkan diri, melainkan duduk menaungi manusia-manusia yang kehilangan rumahnya. Di kota-kota besar, para gelandangan kere dan tunawisma mengandalkan spanduk sebagai teman tidur di kolong jembatan. Agar tidak masuk angin ketika malam mendinginkan udara dan menebarkan penyakit paru. Dan beberapa aktivis perguruan tinggi pernah memakai baju dari bahan spanduk sebagai protes atas kesewenang-wenangan kapitalisme. Di sini spanduk senasib dengan Malin Kundang yang durhaka terhadap ibunya.
*****
Lalu di sinilah aku, duduk menghadap komputer. Dalam berbagai sifat positif dan negatif sang spanduk, aku: daniy!, telah melahirkan beribu-ribu dari mereka. Tuhan memberikan aku kemudahan dalam mengidentifikasi warna serta keahlian menarik garis dan kurva digital. Maka ditempatkanlah aku oleh-Nya sebagai seorang kreator grafis di sebuah perusahaan event organizer. Dan malam ini aku akan mendesain sebuah spanduk event pemeran hasil kerajinan lokal.
Nah, lo... dari tadi ngomongnya banyak negatif soal spanduk, tapi sekarang malah mau bikin spanduk?!
Ya... berpandangan negatif bukan berarti benci dan anti ‘kan? Masak seorang desainer grafis menolak permintaan atasannya untuk mendesain spanduk hanya karena ia merasa bahwa spanduk adalah bagian dari kapitalisme. Lagipula kupikir lebih baik aku mendukung promosi para pengrajin lokal itu yang begitu bangga dengan produk sandal jeraminya, ketika orang Indonesia yang lain juga membuat sandal [murahan] yang kemudian mereka cap dengan kata “converse”.
Terkadang kita memang harus berkompromi.
Makhluk bernama spanduk ini memang serupa tumbuhan merambat yang dalam semalam mampu beranakpinak dan serta merta menambatkan sulur-sulurnya pada setiap cagak di dalam hutan yang bernama kota. Dia mudah hidup namun tak mudah mati. Padahal menurut undang-undang, ia hanya boleh hidup selama empatbelas hari. Namun, begitu gigihnya ia beradaptasi dengan lingkungan sekitar, sehingga populasinya begitu cepat bertumbuh, ratusan hingga ribuan, sampai-sampai petugas dinas pendapatan daerah tak mampu lagi menghitung berapa banyak spanduk yang harus diberangus. Mati satu tumbuh sepuluhribu.
Lihatlah betapa makhluk ini memiliki sifat yang begitu unik: eksebsionis, suka pamer. Spanduk takkan mau hidup di mana tidak ada orang yang bisa melihatnya. Dan ada-ada saja caranya menarik perhatian. Mulai dari warna-warninya yang mencolok, hingga rangkaian kata-kata yang vulgar, erotis, mengajak, menggelitik, bertanya, dan bahkan memerintah. Simak saja contoh-contoh berikut:
- Presenting the most sexy and delicious girls [gadis yang seksi dan nikmat?]
- Pilih no.3! bersama kita membangun bangsa
- Rewel? Pegat!
- Buat teknologi, boleh poligami
- Pengen masak bareng Indra Bekti
Modernisasi dan kapitalisme adalah induk dan cikal bakal spanduk. Maka kota adalah tempat yang paling ideal untuk beranakpinak. Tetapi, kini ia mulai bertumbuh juga di desa. Sebab ia juga memiliki sifat yang serupa dengan induknya. Kapitalisme mengajarkan bahwa seseorang membeli bukan karena mereka ‘benar-benar’ membutuhkannnya, namun hanya karena ia ‘merasa’ membutuhkannya.
Ketika orang-orang menyaksikan bagaimana Deddy Mizwar dan Didi Petet meributkan ‘bebek’, maka merekapun membayangkan betapa mudahnya memindahkan diri hanya dengan memutar kunci, menginjak persneling, dan menarik kopel gas. Persuasi berlanjut ketika mereka melihat tetangganya mengendarai ‘bebek’ baru milik Deddy Mizwar. Akhirnya pandangan mereka tertumbuk pada sebuah spanduk yang terpancang di depan balai desa, yang mengatakan betapa mudahnya memiliki sebuah ‘bebek’ baru hanya dengan limaratus ribu. Maka berduyun-duyunlah orang desa menyerbu dealer, menukarkan enam bulan keringat mereka di ladang persawahan dengan sebuah ‘bebek’ baru yang minumnya seharga dengan sebungkus nasi padang duta minang.
Tetapi, spanduk terkadang berhati dermawan. Ketika gempa mengguncang, ia tidak lagi berdiri memamerkan diri, melainkan duduk menaungi manusia-manusia yang kehilangan rumahnya. Di kota-kota besar, para gelandangan kere dan tunawisma mengandalkan spanduk sebagai teman tidur di kolong jembatan. Agar tidak masuk angin ketika malam mendinginkan udara dan menebarkan penyakit paru. Dan beberapa aktivis perguruan tinggi pernah memakai baju dari bahan spanduk sebagai protes atas kesewenang-wenangan kapitalisme. Di sini spanduk senasib dengan Malin Kundang yang durhaka terhadap ibunya.
*****
Lalu di sinilah aku, duduk menghadap komputer. Dalam berbagai sifat positif dan negatif sang spanduk, aku: daniy!, telah melahirkan beribu-ribu dari mereka. Tuhan memberikan aku kemudahan dalam mengidentifikasi warna serta keahlian menarik garis dan kurva digital. Maka ditempatkanlah aku oleh-Nya sebagai seorang kreator grafis di sebuah perusahaan event organizer. Dan malam ini aku akan mendesain sebuah spanduk event pemeran hasil kerajinan lokal.
Nah, lo... dari tadi ngomongnya banyak negatif soal spanduk, tapi sekarang malah mau bikin spanduk?!
Ya... berpandangan negatif bukan berarti benci dan anti ‘kan? Masak seorang desainer grafis menolak permintaan atasannya untuk mendesain spanduk hanya karena ia merasa bahwa spanduk adalah bagian dari kapitalisme. Lagipula kupikir lebih baik aku mendukung promosi para pengrajin lokal itu yang begitu bangga dengan produk sandal jeraminya, ketika orang Indonesia yang lain juga membuat sandal [murahan] yang kemudian mereka cap dengan kata “converse”.
Terkadang kita memang harus berkompromi.
0 komentar:
Post a Comment