The Rain and The Fall of Advertisement
Jogja kota hujan. Predikat yang aslinya milik kota Bogor ini, bolehlah dipinjam sejenak oleh kota Jogja, mengingat kondisi cuaca yang senantiasa kurang bersahabat bagi para pejalan kaki dan pengendara sepedamotor seperti saya ini. Semenjak dua minggu terakhir ini, mantel hujan kembali menjadi barang yang populer dan paling diminati. Serupa bendera merah putih yang laku keras tatkala Agustus tiba.
Saya ingat bahwa pertama kali hujan memasuki musimnya di Jogja tahun ini pada tanggal 5 November 2007 ini. Hujan pertama kali turun pada pukul 13.47, sebab pada saat itulah kantor saya [Kamajaya] sedang melakukan proses pindahan dari Jl. Monjali ke Condongcatur. Padahal
hari-hari sebelumnya langit terang benderang tanpa setitik air yang jatuh dari langit. Memang, ketika hari memasuki sore, langit terlihat mendung dengan segerombolan besar cumulonimbus yang menggantung. Tapi, mereka tidak melakukan apa-apa. Maka kami merasa aman saja untuk menjadwalkan ulang waktu pindahan kantor dari hari Jumat ke hari Senin.
Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Awan-awan itu mulai melancarkan serangannya pada hari Senin. Sehingga kami harus berpindah dalam basah.
Beberapa barang dan file terpaksa harus berkenalan dengan air.
Syukurlah mereka tidak termasuk hal yang penting.
Secara pribadi, saya terkena 2 dampak negatif dari musim hujan yang tengah berlangsung saat ini. Pertama, cucian yang saya jemur tidak dapat kering dengan segera. Untunglah saya menggunakan Attack; deterjen konsentrat yang mengandung softener sehingga pakaian tidak bau walaupun kering tanpa matahari [adv].
Kedua, rupanya atap genteng kamar kos saya menunjukkan ketidakberesannya kali ini. Setiap kali hujan dengan intensitas yang cukup deras, maka saya selalu was-was, cemas, serta gundah gulana. Jangan-jangan air masuk merembes ke dinding dan membasahi kasur saya.. Wah, ternyata benar! Alhasil, malam pertama pada musim hujan saya lalui tanpa kasur. Hiks...
Esok pagi saya berinisiatif untuk memerbaiki problem tersebut dengan memanjat sendiri ke atas atap melalui jalur area jemuran. Namun entah karena kebodohan atau nasib buruk, tubuh saya meremukkan beberapa genteng lagi karena usia genteng yang mungkin sudah dipasang semenjak saya duduk di bangku kelas 2 SMP. Weladalaah.. Maksud hati ingin memerbaiki malah menghancuri.. Teruknya..
Akhirnya saya 'memindahkan' beberapa genteng dari gapura kos ke atap kamar kos. Namun, hingga hari ini tampaknya masalah tersebut belum terselesaikan. Saya masih saja menjumpai bekas tetesan air yang mengalir pada dinding tatkala hujan deras menerjang. Maka saya mengalah. Setiap kali berangkat kerja, saya selalu mengingatkan diri untuk mendirikan kasur pada tempat yang lebih aman. Sehingga ia tidak berpotensi lagi untuk dijamah oleh air hujan.
Imbas lain yang kurang menyenangkan tentang musim hujan berkenaan dengan aliran listrik. Yup, listrik lebih berpotensi padam pada saat musim hujan. Dalam minggu ini sudah dua kali listrik kos padam, sehingga saya tidak bisa mengerjakan rutinitas seperti biasanya. Seperti mengoneksikan Motorola saya dengan komputer, lalu dengan bebas mengoprek-oprek dunia maya lewat koneksi XL GPRS. Padahal kuota download account saya masih tersisa 140MB. Lumayan besar untuk lima hari ke depan hingga masuk masa tagihan yang baru.
Malam tadi, listrik kembali padam. Terserang bad mood sebab dikepung gelap di dalam kos, saya berinisiatif makan malam di luar. Walaupun tanpa pacar. Saya menyusuri jalan Kaliurang ke selatan hingga Klebengan. Semua pekat. Sore tadi, angin dan hujan merobohkan sebuah papan iklan di depan Yamaha Kaliurang [klo gak salah], sehingga bapak-bapak polisi harus sedikit memodifikasi aliran lalulintas. Kendaraan dari ring road utara Kentungan tidak boleh menuju ke selatan. Jalan ditutup. Begitupula dari selatan di perempatan MM UGM, tidak boleh langsung menuju utara, melainkan dibelokkan ke arah Klebengan hingga tembus ke Gejayan [Jl. Affandi].
Air [hujan] dan angin adalah unsur dasar dari kehidupan planet bumi. Tetapi akhir-akhir ini keduanya tidak berlaku bersahabat sebagaimana biasanya mereka menumbuhkan tanaman, mengairi persawahan, serta menyeka panas dan keringat. Sayangnya pula, avatar sang pengendali angin hanya ada dalam kisah kartun televisi, sehingga mereka makin bebas saja mengobrak-abrik rumah, pohon, dan papan iklan. Tetapi, air dan angin tak dapat dipersalahkan, sebab manusia yang membuat global warming. Men must pay for what they've done.
By the way, kenapa papan iklan yang selalu dijadikan sasaran oleh angin dan hujan?
Mungkin mereka juga muak melihat centang-perenangnya iklan yang bertebaran tanpa ampun di setiap sudut kota. Yang memaksa mata kita untuk menelan setiap pesan. Rela maupun tidak rela. Seperti juga iklan online yang membawa kita ke situs MFA.
PS: Ngomong soal MFA, ngomongin juga soal adsense.
Ngomongin soal adsense, ngomongin juga soal earning
Earning baru $0.53. Hiks...
Tapi, alhamdulillah... udah $0.53.. [optimist mode: on]
Maju publisher Indonesia!
1 komentar:
Wah, ternyata tinggal di Jogja juga. Lam kenal.
Post a Comment