Trans Jogja, Cara Baru Bertransportasi dan Memindahkan Diri
Pagi ini, telah kutemui bus kuning hijau itu berselancar di tengah hiruk pikuknya lalulintas Jogja. Sesekali ia pasti berhenti pada bangunan halte berukuran 2,5m x 10m setinggi satu meter lebih dengan bahan kaca bening yang dominan. Halte tersebut sudah lumayan familiar bagi saya beberapa minggu terakhir, namun sang bus sendiri, baru kali ini aku melihatnya. Tepat pada sisi samping bus, saya dapat dengan jelas mengeja “Trans Jogja”
Sekilas bus Trans Jogja memang berukuran lain dengan bus Kopata, Aspada, dan sebangsanya. Postur fisiknya terlihat lebih tinggi dan lebar, namun dengan panjang yang lebih pendek dari bus kota biasa. Saya memang tak pernah mengukur secara langsung dengan meteran, tapi setidaknya itulah persepsi metrik yang saya dapatkan ketika melihat bus Patas Trans Jogja.
Beroperasinya Trans Jogja saat ini, menambah pilihan moda transportasi masyarakat Jogja yang selama ini lebih banyak dikecewakan dengan keberadaan bus kota “tradisional” yang identik dengan kumuh, sesak, panas, lelet, sarang copet, ugal-ugalan, dan berpuluh macam keluhan yang pasti timbul ketika menjejakkan kaki ke dalam bus kota. Satu-satunya keuntungan yang bisa diambil oleh masyarakat penumpang adalah bus tersebut merupakan satu-satunya alat transportasi umum yang akomodatif dan mampu teraih oleh kocek yang pas-pasan. Walaupun tarif bus kian tahun kian mencekik, tetap saja bus kota adalah pilihan terbaik untuk jarak perjalanan yang cukup jauh ketimbang memilih becak, andong, apalagi taksi.
Bukannya saya tidak berpihak kepada sang sopir yang notabene adalah kaum lemah yang juga tertindas, namun seorang konsumen takkan pernah merasa kepentingannya salah. Di sini kepentingan sayayang selalu menjadi konsumen jasa transportasi amburadul itu ingin tiba tepat waktu, beradu dengan kepentingan sopir bus yang ingin meraih penumpang sebanyak-banyaknya. Saya ingin cepat. Sopir ingin banyak.
Melihat sekilas setiap hari, ingin rasanya suatu ketika untuk mencoba menumpang padanya. Tidak untuk menuju suatu tempat, namun hanya ingin ikut berkeliling saja dengannya. Jika saya merealisasikannya dalam waktu dekat, mungkin saya masih mungkin untuk menikmati harga tiket masa ujicoba yang hanya seharga satu eksemplar koran Kompas di sore hari. Seribu rupiah.
Sekilas bus Trans Jogja memang berukuran lain dengan bus Kopata, Aspada, dan sebangsanya. Postur fisiknya terlihat lebih tinggi dan lebar, namun dengan panjang yang lebih pendek dari bus kota biasa. Saya memang tak pernah mengukur secara langsung dengan meteran, tapi setidaknya itulah persepsi metrik yang saya dapatkan ketika melihat bus Patas Trans Jogja.
Beroperasinya Trans Jogja saat ini, menambah pilihan moda transportasi masyarakat Jogja yang selama ini lebih banyak dikecewakan dengan keberadaan bus kota “tradisional” yang identik dengan kumuh, sesak, panas, lelet, sarang copet, ugal-ugalan, dan berpuluh macam keluhan yang pasti timbul ketika menjejakkan kaki ke dalam bus kota. Satu-satunya keuntungan yang bisa diambil oleh masyarakat penumpang adalah bus tersebut merupakan satu-satunya alat transportasi umum yang akomodatif dan mampu teraih oleh kocek yang pas-pasan. Walaupun tarif bus kian tahun kian mencekik, tetap saja bus kota adalah pilihan terbaik untuk jarak perjalanan yang cukup jauh ketimbang memilih becak, andong, apalagi taksi.
Kopata, Aspada, dan sebangsanya memang satu-satunya alat transportasi yang paling ideal dan masuk akal jika anda berdomisili di Gondomanan dan beraktivitas kerja setiap hari di Condongcatur.Namun bus “tradisional” kini telah mendapatkan rivalnya. Alat transportasi yang baru ini merupakan perpaduan antara kapasitas penumpang yang maksimal dengan kenyamanan setingkat taksi sedan. Keunggulan ini ditambah pula dengan waktu pemberangkatan bus yang benar-benar terjadwal. Penumpang tidak akan lagi menjadi pihak lemah tertindas yang selalu harus mengalahkan kepentingan waktunya dengan kepentingan kejar setoran sang sopir yang ngetem hingga bus terisi penuh.
Bukannya saya tidak berpihak kepada sang sopir yang notabene adalah kaum lemah yang juga tertindas, namun seorang konsumen takkan pernah merasa kepentingannya salah. Di sini kepentingan saya
* * *
Melihat sekilas setiap hari, ingin rasanya suatu ketika untuk mencoba menumpang padanya. Tidak untuk menuju suatu tempat, namun hanya ingin ikut berkeliling saja dengannya. Jika saya merealisasikannya dalam waktu dekat, mungkin saya masih mungkin untuk menikmati harga tiket masa ujicoba yang hanya seharga satu eksemplar koran Kompas di sore hari. Seribu rupiah.
0 komentar:
Post a Comment