Konsumen Selalu Benar
Beberapa hari yang lalu, kami mendapatkan seorang klien dengan order dengan desain yang sangat sederhana namun dalam jumlah yang cukup banyak, 18 rim kertas HVS. Desain tersebut berupa logo Departemen Perhubungan Republik Indonesia yang dicetak sebagai background berwarna kuning. Namun, kesederhanaan tak berarti minim kemungkinan kesalahan. Dan kali ini pengalaman kembali mengajarkan bahwa tak ada yang boleh disepelekan dalam setiap hal, sesederhana apapun.
Sang klien datang dengan membawa sebuah file yang berupa logo Departemen Perhubungan. Saya menerima file tersebut mengopinya pada flashdisk dan beberapa waktu kemudian sudah dijemput oleh supplier yang bertugas membuat film transparan dari file tersebut. Dari bentuk film transparan tersebut kemudian ditransfer ke dalam bentuk lembaran film plat seng yang siap untuk dicetak oleh operator tukang cetak kami.
Memang tukang cetak kami begitu piawainya dalam mengoperasikan mesin Toko, sehingga tak kurang dari 3 jam selesailah sudah kedelapanbelas rim kertas tersebut dalam cetakan yang sempurna. Sang klien datang pada sore hari, dengan bangga kami memersembahkan hasil kerja sang operator cetak. Namun, nasib berkata lain, kedelapanbelas rim cetakan tersebut ditolak! Bukan karena kualitas cetak yang buruk, melainkan kesalahan posisi dalam mencetak. Seharusnya ia dicetak pada posisi landscape bukan portrait.
Tak pelak, konsumen protes keras sebab cetakan tersebut memang pada hari itu juga harus diserahkan. Ia menyalahkan saya sebab saya yang menerima file tersebut. Dia katakan bahwa dia ingin dicetak seperti apa yang ada di file yang dia serahkan. Saya pun menyangkal dengan cukup keras bahwa saya telah menerima apa adanya dan telah terjadi mispersepsi pada keinginan sang konsumen. Saya hanya melihat pada bentuk logo dan tidak diberi pesan bahwa logo tersebut harus dicetak pada bidang landscape.
Namun masalah tersebut dapat diselesaikan dalam waktu singkat dan menjanjikan bahwa ia dapat mengambil revisi cetakan esok hari tepat pada waktu yang sama.
Dari kasus pengalaman di atas, saya kembali mengambil kesimpulan bahwa dalam dunia cetak mencetak proof dari klien adalah sangat penting. Kesederhanaan order sang klien yang hanya mencetak sebuah logo di atas kertas ternyata menyimpan potensi kesalahan yang terbukti besar. Seharusnyalah sebelum naik cetak, konsumen disodorkan print out dari cetakan yang akan dibuat, dan membubuhkan tandantangan persetujuan di atasnya. Sehingga apa yang diinginkan klien dapat dimengerti secara jelas oleh percetakan.
Hal kedua yang saya ambil adalah seberapa keras saya menyangkal kesalahan saya pada waktu itu, pada akhirnya konsumenlah yang benar. Ungkapan klasik “customer is king and king can do no wrong” rupanya cukup memberikan penjelasan. Apalagi bila tidak ada approval, maka yang harus mengalah adalah pihak pemilik usaha sebagai pelayan kepentingan konsumen.
Lebih jauh menelusur ke masa lampau, ketika saya masih menjadi konsumen di perusahaan tempat bekerja sekarang, saya merasakan bahwa konsumen selalu saja benar. Jika saya menemukan order cetakan saya tidak sesuai dengan yang saya inginkan, maka kesalahan langsung saja saya lemparkan pada pihak penerima order.
Ketika saya membuat cetakan dengan latar hitam dan membuat CMYK bernilai 100 semua, maka yang saya dapatkan adalah tulisan putih yang tidak sempurna alias kabur. Hal ini disebabkan proses warna hitam yang melalui pencetakan sebanyak 4 kali. Dalam 4 tahap cetak tersebut, dimungkinkan adanya hasil yang meleset sehingga membuat gambar tidak akurat. Dalam pikiran saya, percetakanlah yang paling tahu perihal cetakan. Percetakanlah yang bertugas mengecek sebuah file benar-benar aman untuk dinaikkan ke dalam mesin cetak sehingga hal-hal yang mungkin menurunkan kualitas cetak dapat sekecil mungkin diminimalisir.
Dan ketika saya berada posisi yang berbeda saat ini [sebagai penerima order cetakan], ternyata hal tersebut tidak mudah. Saya terkadang protes sendiri kepada beberapa pemberi order cetak [Terutama mahasiswa yang baru saja berkenalan dengan CorelDraw. Biasanya mahasiswa teknik UGM] yang sedikit banyak menyusahkan saya untuk mengoptimalkan hasil cetakan. Bagaimana tidak, jika para mahasiswa itu begitu senang menggunakan lens, transparency, bitmap pattern, drop shadow, dan hal-hal berat lainnya dalam jumlah besar? Pernah saya menemukan sebuah file brosur 2 halaman dengan 75 buah efek transparency! Bayangkan betapa beratnya komputer saya walapun saya hanya mengoperasikan zoom tool! Perlu diingat bahwa penggunaan hal-hal tersebut memakan memori komputer yang tidak sedikit dan membuat respon komputer menjadi turun drastis. Dasar Mahasiswa! Huh! [klo ini memang bener-bener sebal]
Namun konsumen tetaplah pihak yang benar. Tidak mungkin saya membuang efek-efek tersebut, karena efek-efek itu yang mendominasi keseluruhan desain. Ketika saya memerlukan optimasi dalam bekerja, maka saya pun mengambil jalan tengah, menekan Ctrl+A, memilih menu "Convert to Bitmap" dan mengeset pada angka 300 dpi.
Saya memang curang. Bye, bye vectors...
Sang klien datang dengan membawa sebuah file yang berupa logo Departemen Perhubungan. Saya menerima file tersebut mengopinya pada flashdisk dan beberapa waktu kemudian sudah dijemput oleh supplier yang bertugas membuat film transparan dari file tersebut. Dari bentuk film transparan tersebut kemudian ditransfer ke dalam bentuk lembaran film plat seng yang siap untuk dicetak oleh operator tukang cetak kami.
Memang tukang cetak kami begitu piawainya dalam mengoperasikan mesin Toko, sehingga tak kurang dari 3 jam selesailah sudah kedelapanbelas rim kertas tersebut dalam cetakan yang sempurna. Sang klien datang pada sore hari, dengan bangga kami memersembahkan hasil kerja sang operator cetak. Namun, nasib berkata lain, kedelapanbelas rim cetakan tersebut ditolak! Bukan karena kualitas cetak yang buruk, melainkan kesalahan posisi dalam mencetak. Seharusnya ia dicetak pada posisi landscape bukan portrait.
Tak pelak, konsumen protes keras sebab cetakan tersebut memang pada hari itu juga harus diserahkan. Ia menyalahkan saya sebab saya yang menerima file tersebut. Dia katakan bahwa dia ingin dicetak seperti apa yang ada di file yang dia serahkan. Saya pun menyangkal dengan cukup keras bahwa saya telah menerima apa adanya dan telah terjadi mispersepsi pada keinginan sang konsumen. Saya hanya melihat pada bentuk logo dan tidak diberi pesan bahwa logo tersebut harus dicetak pada bidang landscape.
Namun masalah tersebut dapat diselesaikan dalam waktu singkat dan menjanjikan bahwa ia dapat mengambil revisi cetakan esok hari tepat pada waktu yang sama.
* * *
Dari kasus pengalaman di atas, saya kembali mengambil kesimpulan bahwa dalam dunia cetak mencetak proof dari klien adalah sangat penting. Kesederhanaan order sang klien yang hanya mencetak sebuah logo di atas kertas ternyata menyimpan potensi kesalahan yang terbukti besar. Seharusnyalah sebelum naik cetak, konsumen disodorkan print out dari cetakan yang akan dibuat, dan membubuhkan tandantangan persetujuan di atasnya. Sehingga apa yang diinginkan klien dapat dimengerti secara jelas oleh percetakan.
Hal kedua yang saya ambil adalah seberapa keras saya menyangkal kesalahan saya pada waktu itu, pada akhirnya konsumenlah yang benar. Ungkapan klasik “customer is king and king can do no wrong” rupanya cukup memberikan penjelasan. Apalagi bila tidak ada approval, maka yang harus mengalah adalah pihak pemilik usaha sebagai pelayan kepentingan konsumen.
Lebih jauh menelusur ke masa lampau, ketika saya masih menjadi konsumen di perusahaan tempat bekerja sekarang, saya merasakan bahwa konsumen selalu saja benar. Jika saya menemukan order cetakan saya tidak sesuai dengan yang saya inginkan, maka kesalahan langsung saja saya lemparkan pada pihak penerima order.
Ketika saya membuat cetakan dengan latar hitam dan membuat CMYK bernilai 100 semua, maka yang saya dapatkan adalah tulisan putih yang tidak sempurna alias kabur. Hal ini disebabkan proses warna hitam yang melalui pencetakan sebanyak 4 kali. Dalam 4 tahap cetak tersebut, dimungkinkan adanya hasil yang meleset sehingga membuat gambar tidak akurat. Dalam pikiran saya, percetakanlah yang paling tahu perihal cetakan. Percetakanlah yang bertugas mengecek sebuah file benar-benar aman untuk dinaikkan ke dalam mesin cetak sehingga hal-hal yang mungkin menurunkan kualitas cetak dapat sekecil mungkin diminimalisir.
Dan ketika saya berada posisi yang berbeda saat ini [sebagai penerima order cetakan], ternyata hal tersebut tidak mudah. Saya terkadang protes sendiri kepada beberapa pemberi order cetak [Terutama mahasiswa yang baru saja berkenalan dengan CorelDraw. Biasanya mahasiswa teknik UGM] yang sedikit banyak menyusahkan saya untuk mengoptimalkan hasil cetakan. Bagaimana tidak, jika para mahasiswa itu begitu senang menggunakan lens, transparency, bitmap pattern, drop shadow, dan hal-hal berat lainnya dalam jumlah besar? Pernah saya menemukan sebuah file brosur 2 halaman dengan 75 buah efek transparency! Bayangkan betapa beratnya komputer saya walapun saya hanya mengoperasikan zoom tool! Perlu diingat bahwa penggunaan hal-hal tersebut memakan memori komputer yang tidak sedikit dan membuat respon komputer menjadi turun drastis. Dasar Mahasiswa! Huh! [klo ini memang bener-bener sebal]
Namun konsumen tetaplah pihak yang benar. Tidak mungkin saya membuang efek-efek tersebut, karena efek-efek itu yang mendominasi keseluruhan desain. Ketika saya memerlukan optimasi dalam bekerja, maka saya pun mengambil jalan tengah, menekan Ctrl+A, memilih menu "Convert to Bitmap" dan mengeset pada angka 300 dpi.
Saya memang curang. Bye, bye vectors...
2 komentar:
Wah, jadi nasib ke-18 rim kertas salah cetak tersebut bagaimana? Dibuangkah?
Tidak dibuang, sebab area yang tercetak tidak banyak. Hanya bagian tengah dari kertas. Lagipula tinta yang tercetak berwarna kuning muda, sehingga memungkinkan untuk dipakai ulang. Entah untuk apa, tapi suatu saat pasti kan berguna...
Post a Comment