Ketika Tanah Menari di Sabtu Pagi
Kala itu sabtu pagi di akhir bulan Mei, tanah menari, atap mencium tanah, dan suara gemuruh memukul-mukul gendang telinga, maka seketika yang muncul di setiap benak penduduk Jogja adalah sebuah kata: Merapi. Bagaimana tidak, bak seorang selebritis, makhluk bumi yang megah itu selalu menjadi topik utama di setiap terbitan surat kabar harian di Jogja. Keperkasaan yang ditunjukkan lewat atraksi wedhus gembel dan lava pijarnya, cukup membuat ratusan penghuni lereng gunung Merapi gentar dan berbondong-bondong mencari tempat aman di sebelah selatan. Maka, ketika tanah berguncang, penduduk Jogjakarta sontak memandang ke arah utara. Merapi njeblug!
Tetapi, siapa sangka ancaman yang sedang terjadi pada hari itu justru berasal dari selatan. Arah yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Ki Joko Bodo menurut faham kebatinannya berkilah bahwa Kanjeng Ratu Kidul marah besar, sebab masyarakat Jogja dalam tempo terakhir hanya melempar pandang ke arah utara (baca: merapi), dan melupakan eksistensinya sebagai penguasa daerah selatan. Sedangkan BMG dan USGS sebagai penganut faham logika dan mekanika menuduh subduksi lempeng eurasia terhadap lempeng indo-australia sebagai pangkal getaran berkekuatan 5,9 skala richter tersebut.
Terlepas dari biang keladi gempa yang mengguncang DIY dan Jawa Tengah sabtu lalu, yang jelas saat ini statistik telah mencatat angka yang cukup fantastis. Sebanyak 5.000 nyawa melayang, 8.000 orang luka ringan dan berat, serta 48.000 buah bangunan rata dengan tanah. Angka tersebut belum termasuk kerugian psikis dan trauma yang dialami oleh masyarakat Jogja pasca-bencana gempa.
Berangkat dari bencana yang telah menorehkan begitu banyak luka dan duka, manusia kembali disadarkan akan eksistensinya sebagai makhluk dengan kemampuan yang sangat terbatas. Betapa dramatis sebuah tayangan breaking news di salah satu stasiun televisi, yang menampilkan ribuan orang berlari menjauhi Pantai Selatan. Dalam sebuah close up shot, seorang ibu mbrebes mili sambil berkata “Aku arep neng ngendi?”. Mereka tidak tahu ke mana mereka akan pergi, kecuali berbekal asumsi bahwa mereka harus berlari ke arah yang lebih tinggi untuk menjauhi bahaya. Jikalau benar terjadi gelombang tsunami, secara matematis mereka tidak akan selamat, karena kecepatan berlari mereka kalah jauh daripada luncuran sang tsunami.
Beberapa jam kemudian, rumahsakit dan klinik telah menjadi tempat yang paling ramai daripada mall dan pusat perbelanjaan. Tidak hanya yang menderita patah tulang ataupun cedera kepala, namun juga tubuh-tubuh tak bernyawa ditimpa reruntuhan bangunan yang selama ini melindungi mereka. Keterbatasan daya tampung rumahsakit serta jumlah tenaga medis, memerlambat penanganan atas korban gempa. Hingga hari kelima sejak gempa melanda, beberapa dusun dan kecamatan di Kabupaten Bantul—daerah gempa dengan kerusakan terparah—belum tersentuh oleh bantuan yang datang bertubi-tubi dari dalam maupun luar negeri. Semua terantuk pada keterbatasan akan distribusi bantuan.
Allahu Akbar... Allahu Akbar...Rangkaian frase yang digumamkan dari mulut seorang korban gempa saat dipapah oleh seorang perwira polisi dan seorang sipil, seketika adalah ucapan yang keluar dari lubuk hati manusia yang paling dalam. Akhirnya kita pasrah dan mengakui kebesaran-Nya secara tulus dan sebenar-benarnya. Kesadaran akan keberadaan kita sebagai makhluk yang super-terbatas, dibangkitkan oleh sebuah getaran ‘kecil’ dari palung Samudera Hindia.
Baca selengkapnya..